Abstract
The aim of this study was to
assess adolescents’ sexuality and to gather student opinions on current
school-based sex education in South Korea. A self-administered questionnaire
survey was conducted in Seoul, Incheon, and Kyunggi Province to assess the
status and needs of high school sexuality education. Survey data was obtained
from 1,130 senior high school students.
The rates of sexual intercourse
for boys and girls were 33.1% and 13.2% respectively. Boys were more likely to
be sexually involved (p = .000) and experienced earlier at first sexual
intercourse than girls (p = .006). Among students who had sexual intercourse,
only 20.3% (21.1% of boys and 19.1% of girls) used contraceptives at first
sexual intercourse. The proportion of respondents who had had sexual
intercourse was higher among those with poor self-perceived academic performance
(p = .000). The proportion was also higher among those with a boy or girl
friend (p = .000). Other risk-taking behaviors such as smoking and drinking
were associated with sexual activity (p =.000).
This study found that most
students were not satisfied with sex education because of teachers’ lack of
information and skills in delivering it. Most teachers providing sex education
were not qualified and/or trained. They should receive adequate training and
guidelines for the training. Training should also give teachers time to
practice and become comfortable in delivering it.
Opini
Jurnal ini bertujuan mengetahui
kebutuhan / needs dari para remaja, khususnya yang bersekolah di SMA, di Korea
Selatan, akan pendidikan seks berbasis sekolah. Situasi di Korea Selatan adalah
para remaja banyak yang sudah aktif secara seksual dan tren usianya semakin
hari semakin muda. Peran orang tua dan guru di sekolah sangat penting dalam
mendidik para remaja agar mereka menunda hubungan seksual sebelum benar-benar
siap dalam hubungan yang dewasa. Para orang tua cenderung malu bila
membicarakan hal-hal terkait seks dengan anak-anak mereka, akibatnya para
remaja cenderung mencari informasi sendiri dan mencoba-coba dengan teman-teman
mereka. Maka, sekolah memegang peran penting dalam pendidikan seks.
Kementerian Pendidikan Korsel sudah
menawarkan banyak usaha untuk program pendidikan seks berbasis sekolah sejak
tahun 1980-an. Mereka merekomendasikan sekolah-sekolah untuk mengalokasikan
10-12 jam untuk pendidikan seks dalam satu minggu setiap tahun. Kenyataannya banyak sekolah-sekolah yang
tidak melaksanakan rekomendasi, bahkan tidak mengadakan pendidikan seks, sesuai
anjuran dari Kementerian Pendidikan Korsel.
Dari hasil survei yang dilakukan
kepada 1.130 remaja di tingkat SMA di Korea Selatan, baik remaja laki-laki
maupun perempuan lebih banyak menggunakan video untuk memuaskan rasa ingin tahu
mereka terhadap seks, dibanding media lain seperti komik, majalah, film, dan
internet. Hal ini dapat menimbulkan persepsi yang keliru dan bersifat kurang
informatif.
Dari 1.130 responden remaja, 961
orang telah menerima pendidikan seks berbasis sekolah. Hanya 4,8% dari mereka
yang mengaku terpuaskan oleh pendidikan seks yang telah diberikan. Alasan terkuat
adalah materi yang diberikan kurang informatif (tidak sesuai yang ingin
diketahui), diikuti dengan alasan-alasan lain seperti tenaga pengajar yang
menyampaikan materi kurang terlatih, materi yang diberikan kurang banyak, metode pengajaran kurang interaktif, waktu yang
dialokasikan kurang, dan tidak ada ketertarikan untuk belajar di pendidikan
seks lebih lanjut. Topik terkuat yang ingin dibahas dalam pendidikan seks
adalah kontrasepsi (cara mendapatkan dan penggunaannya), diikuti oleh penyakit
menular seksual, HIV/AIDS, perilaku seksual (termasuk homoseksualitas),
kehamilan tak diinginkan (termasuk aborsi), membina hubungan dengan calon pasangan,
dan faktor sosial (termasuk peran dan kesetaraan gender).
95% responden setuju bahwa
pendidikan seks berbasis sekolah sangat penting. 91,4% responden setuju bahwa
pendidikan seks harus ditawarkan di sekolah. 68,5% responden setuju bahwa
pendidikan seks di sekolah bersifat wajib. 74,6% responden setuju bahwa
pendidikan seks dimulai sejak SD.
Jurnal ini menilai keberhasilan
program pendidikan seks berbasis sekolah yang telah direkomendasikan oleh
Kementerian Pendidikan Korea Selatan. Program yang dijalankan tidak menemui
kebutuhan dari sasaran program (siswa-siswi SMA di Korea Selatan). Hal ini disebabkan karena faktor materi yang
diberikan dan tenaga pengajar yang menyampaikan materi. Dari hasil penilaian
ini bisa dirancang program lain, atau memperbaiki program yang sudah ada yang
bisa memenuhi kebutuhan dari sasaran program.
Situasi di Korea Selatan tidak
berbeda jauh dengan di Indonesia, di mana banyak remaja SMA yang sudah aktif
secara seksual dan minimnya pengetahuan para remaja tentang seks. Program
pendidikan seks berbasis sekolah akan lebih berjalan sesuai harapan bila materinya
sudah diperbaharui (sesuai dengan yang
ingin diketahui para siswa) dan tenaga pengajarnya kompeten (tidak canggung atau
monoton dalam menyampaikan materi).
Referensi
Sohn, Ae-Ree; Han, Hee-Jeong.
2002. Adolescents’ Sexuality and School-Based Sex Education in South Korea. Korean Journal of Health Education and
Promotion. Volume 19. Issue 4. pp.45-60. Available at www.koreascience.or.kr/article/ArticleFullRecord.jsp?cn=BGGJBY_2002_v19n4_45
[Accessed on August 30th 2016]
No comments:
Post a Comment